Powered By Blogger

Friday, September 26, 2014

Republik Maluku Selatan

 Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang didirikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.[rujukan?] RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.

Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah tersebut pada abad ke-19 dengan didirikannya Hindia Belanda. Perbatasan Indonesia saat ini terbentuk melalui ekspansi kolonial yang berakhir pada abad ke-20. Pasca-pendudukan oleh Kekaisaran Jepang tahun 1945, para pemimpin nasionalis di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan Indonesia. Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Pemberontakan pribumi pertama yang terorganisasi muncul di Maluku Selatan dengan bantuan pemerintah dan militer Belanda. Kontra-revolusioner Maluku Selatan awalnya bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang menjanjikan bentuk negara federal. Saat perjanjian yang disepakati antara pemerintah Belanda dan Indonesia pada Desember 1949 ini dianulir, mereka langsung memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan pada April 1950 dengan harapan mendirikan negara sendiri. Para pemimpin Maluku Selatan mendasarkan keputusan mereka pada perjanjian yang menjamin otonomi untuk setiap negara dalam federasi.




Pengasingan


Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Kekalahan di Ambun berujung pada pengungsian pemerintahan RMS dari pulau-pulau tersebut dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.[2] Tahun berikutnya, 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku Selatan".
Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari pemerintah Belanda.[3]
Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di Wassenaar. Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh serangan buatan lain di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di kereta dan seorang berkebangsaan Indonesia cedera parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977, terjadi pembajakan kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan marinir Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh pasukan BBE.
Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan RMS.



Presiden

Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (1966–1993).
Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada tanggal 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.
Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans Tutuhatunewa M.D. pada tahun 1993–2010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi kekerasan terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan menyatakan bahwa generasi muda harus berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin mendukung dan membangun Maluku Selatan.
Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga Indonesia, mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu pemulangan generasi pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti menuntut kemerdekaan.[4][5]
John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya.

April–Mei 1950   Johanis Manuhutu
1950–1966                    Chris Soumokil
1966–1992                    Johan Manusama
1993–2010                    Frans Tutuhatunewa
2010–sekarang    John Wattilete

Bendera


Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki proporsi 2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua hari kemudian, pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru melambangkan laut dan kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan, dan merah nenek moyang dan darah rakyat.
Bendera RMS sebelum 2011
Bendera RMS sejak 2011









Lambang


Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati putih dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-siap terbang, sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon damai. Dadanya bertuliskan 'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.
Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari bahasa Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nahkoda dan pendayung perahu tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan mereka saat ekspedisi lepas pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa juga diterjemahkan menjadi 'Saya pergi- Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua- Semua untuk satu'.

Perkembangan RMS saat ini

 

Perkembangan politik di Belanda

Duta besar Indonesia untuk Belanda, Yunus Effendi Habibie, memberitah Radio Netherlands Worldwide bahwa Indonesia senang mengetahui bahwa pemerintahan terasing Maluku tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan. Menurut Habibie, penduduk Maluku sudah diberikan hak otonomi, sehingga situasi masa kini tidak perlu diubah lagi. Ia menolak kemerdekaan Maluku. Komentar Habibie muncul setelah Presiden Maluku dalam pengasingan, John Wattilete, mengatakan bahwa negara Maluku tidak lagi menjadi prioritas utamanya. Meski kemerdekaan masih menjadi tujuan terakhir, ia menyatakan puas dengan otonomi yang juga diberlakukan di Aceh. Katanya, "Hal paling penting adalah penduduk Maluku bisa memimpin daerahnya sendiri."[7][8]
John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya. Akan tetapi, sehari sebelum kunjungan kenegaraan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak 1970,[9] Wattilete mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan kaki di Belanda. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan gagal, Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya keesokan harinya.[10]

 

 

Perkembangan politik di Indonesia

Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan juga didukung oleh Muslim Maluku pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski mayoritas penganut Kristen di Maluku tidak mendukung separatisme,[rujukan?] ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya masih bergaung di Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di Maluku, dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini berhasil membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad. Situasi tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri memang memperjuangkan berdirinya RMS.
Di Maluku, Perjanjian Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS.[11]
Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi di Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum. Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan kemerdekaan.


No comments:

Post a Comment